Filosofi Bunga Gumitir
Kita kerap mendapatkan larangan
dan himbauan atas tindakan kita pada kondisi-kondisi tertentu dimana
larangan dan himbauan ini seringnya bersifat mitos atau tahayul. Mitos bersifat irasional dan disebar melalui
mulut ke mulut sehingga seringkali mitos berkembang ke dalam berbagai versi.
Karena sifatnya yang irasional dan tidak dapat dipertanggungjawabkan itulah
kita seringkali tidak menghiraukan keberadaan mitos tersebut. Namun disisi
lain, mitos selalu bisa menarik perhatian pihak-pihak tertentu karena
nilai misterius cerita yang dibawa oleh mitos tersebut, menarik untuk
dibuktikan kebenarannya.
"Nak Mule Keto" sebuah kalimat yang terdiri dari 3 kata yakni : Nak, Mule
dan Keto. Dimana kata ini bisa juga diartikan sebagai sebuah jawaban universal
bagi masyarakat Bali, entah sudah berapa lama kata ini telah dipergunakan. Yang
pasti jawaban ini adalah final solution bagi kebanyakan masyarakat Bali
(terutama dari kalangan orang tua), saat dihadapkan kepada sebuah pertanyaan
yang tidak bisa mereka jawab.
Nak mule keto kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia maka
akan menjadi : Memang sudah demikian atau Dari dulu sudah begitu. Sebenarnya
jawaban ini tidak hanya membingungkan sang penanya tapi juga dapat membuat Pembodohan
Berkelanjutan dari satu generasi ke generasi selanjutnya amat disayangkan
apabila kalau para generasi tua malas untuk memberikan jawaban/menjelaskan
sesuatu maka mereka akan menjawab Nak Mule Keto. Jadi bisa kita
simpulkan bahwa Nak Mule Keto merupakan sebuah Konklusi tanpa
solusi yang jelas (Conclusion without solution).
Akan menjadi sangat disayangkan apabila banyak pengetahuan
akan warisan budaya leluhur hilang begitu saja tanpa diketahui oleh
kita/generasi muda. Maka dari itulah mari kita mulai menghilangkan kebiasaan
berujar "Nak Mule Keto" (Apabila kita memang mengatahui
jawabannya).
Tersirat pertanyaan
“Bukankah dalam Bhagavadgita disebutkan, kalau persembahan itu adalah
patram, puspam, phalam, toyam, tetapi mengapa di Bali bunga mitir “DIHARAMKAN”
untuk persembahan, bukankah ia tergolong puspam ( bunga) juga? “. Menanyakan
hal tersebut kepada orang tua kita dahulu pasti akan mendapat jawaban nak mule
keto, mungkin karena orang tua kita dulu tidak mengetahui secara pasti
jawabannya atau malas menjelaskan kepada kita.
Menanggapi pertanyaan tersebut perlu kita ketahui, bagi
masyarakat Bali yang beragama Hindu, bunga merupakan sarana ritual yang sangat
penting. Malah, dapat dikatakan, bunga merupakan sarana persembahan pokok bagi
umat Hindu selain api dan air.
Namun, tidak segala jenis bunga bisa
dipersembahkan atau digunakan sebagai sarana dalam persembahyangan. Tradisi
pelaksanaan agama Hindu di Bali menyebut sejumlah jenis bunga yang pantang
untuk dipersembahkan.
Dalam kitab suci umat
Hindu, Bhagavadgita Mandala IX, sloka 26, disebutkan
unsur-unsur
pokok persembahan yang ditujukan pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah bunga,
di samping daun, air dan buah-buahan.
Adapun
bunyi sloka tersebut adalah:
Pattram puspam phalam puspam phalam toyam
Yome bhaktya prayaccati
Tad aham bhaktyu pakrtam
Asnami prayatat asnamah.
Artinya:
Siapapun
yang dengan kesujudan mempersembahkan padaKu daun, bunga, buah-buahan atau air,
persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci, Aku
terima.
Secara prinsip,
bunga yang tidak disarankan untuk digunakan sebagai sarana persembahyangan
yakni bunga yang pusuh (belum kembang), bunga yang sudah layu, bunga
yang jatuh dengan sendirinya atau sudah gugur, bunga yang tumbuh di kuburan
serta bunga yang dimakan semut atau ulat. Pantangan menggunakan bunga-bunga
tersebut sebetulnya lebih didasari pada konsep bunga sebagai persembahan ke
hadapan Tuhan sehingga mestilah bunga tersebut suci, bersih, mekar dan harum.
Dalam kitab
Jnana Sidhanta, disebutkan bunga mekar dan wangi itu sebagai lambang aksara
suci. Adapun bunyi slokanya adalah:
Nkana ring antahhrdaya karonan
bhatara siwa. Pujanta sira satata maka karana Sang Hyang Catur Dasaksara. Catur
Dasaksara ngaranya Sang – Bang – Tang – Ang – Ing – Nang – Mang – Sing – Wang –
Yang – Ang – Ung – Mang – Om. Sirata Sang Hyang Catur Dasaksara ngaranira
Sira kaharan puspa, sumekar, sugandha mawangi nirantara, ya ta pamujantara ring
Bhatara Sada Kala.
Artinya:
Di sana di dalam inti hati
beradanya Bhatara. Hendaknya Beliau, engkau puja selalu dengan sarana empat
belas aksara suci. Empat belas aksara suci namanya: sang bang tang ang ing nang
mang sing wang yang an gung mang om. Beliaulah Sang Hyang Catur Dasaksara
namanya. Beliau disebut pula dengan bunga mekar, berbau wangi tiada batas.
Khusus untuk bunga yang dimakan semut atau ulat, alasannya
sebetulnya sangat logis. Bunga yang dimakan ulat dan semut tentu tidak bersih
lagi. Mungkin di bunga itu ada kotoran dari semut atau ulat yang memakannya.
Begitu pula bila bunga itu disumpangkan di sela telinga, nanti telinga bisa
kemasukan ulat atau semut.
Bunga yang dikenal tidak patut digunakan untuk sarana banten
yakni bunga gemitir. Dalam lontar Kunti Yadnya, disebutkan bahwa bunga
gemitir disebut berasal dari darah Dewi Durga (sakti Dewa Siwa). Namun, setelah
mendapat penglukatan dari Dewa Siwa seperti dinyatakan dalam Lontar Aji
Yanantaka, bunga gemitir boleh digunakan untuk persembahan. Akan
tetapi, hanya yang kembangnya bagus dan berwarna kekuning-kuningan. Bunga gemitir
yang warnanya merah tidak diperkenankan untuk digunakan sebagai sarana upakara.
“Selain itu, bunga gemitir juga tidak baik dipakai sarana memercikkan tirtha,
karena cepat busuk dan mengundang bibit penyakit,”
Hal tersebut senada dengan pendapat dari Ida Pedanda Made
Gunung tentang Bunga Mitir kurang lebih mengatakan sebagai berikut, ”Bersumber
dari sastra atau cerita Tebu Sala dalam epos Mahabrata /
pewayangan. Diceritakan pada saat Dewi Dhurga di supat / di lebur menjadi Dewi
Uma (sebagai simbul pelepasan kekotoran duniawi) oleh Sang Nakula, organ –
organ tubuh Dewi Dhurga menjadi tumbuh – tumbuhan, yang salah satunya darah
beliau membasahi bunga mitir, sehingga setelah Dewi Dhurga menjadi Dewi Uma,
beliau bersabda jika membuat banten / canang untuk di Haturkan ke Pura Dalem
maka tidak diperbolehkan menggunakan bungan mitir. Namun jika digunakan untuk
persembahyang di merajan atau selain Pura Dalem maka hal itu diperbolehkan.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bunga merupakan
sarana upacara bagi umat Hindu yang sangat penting, namun perlu diperhatikan
bunga yg bagaimana dan jenis apa saja yang boleh dipergunakan, jadi mengenai
tidak diperbolehkannya menggunakan bunga mitir sebagai sarana upacara di Bali
dapat kita ketahui jawabannya secara pasti. Bunga mitir atau bunga gumitir
sudah jelas dijelaskan di atas boleh dipergunakan sebagai sarana upacara namun
harus yang kembangnya utuh dan warnanya kekuning-kuningan. Serta alasan tidak
diperbolehkannya menggunakan bunga gumitir untuk dijadikan penyiratan tirta
karena bunga mitir jika terkena air akan cepat busuk dan akan bisa mengundang
bibit penyakit.
Titanium Band Rings - TITanium Arts
BalasHapusTitanium titanium bolt Band Rings is a brand titanium tv apk new addition to the Ringtone Collection, developed solo titanium razor by titanium nitride coating service near me TOTO and published by Toto in October, babyliss nano titanium flat iron 2010.